Kamis, Januari 10, 2013

Nasionalisme Muda-Mudi lewat Busana

Secara khusus, hal yang jarang terjadi dari penulis untuk mengulas sebuah perusahaan apalagi blog ini pada awalnya tempat mengulas musik-musik. Tapi, berhubung yang dibahas memiliki dimensi seni lewat desain-desain, karena penulis kali ini mencoba memahami dari pengamatan penulis sehari-hari, di mana ada banyak sekali orang-orang berjalan-jalan dengan mengenakan kaus yang temanya nasionalisme! Sebuah kecenderungan yang bisa dikatakan mengemuka di pertengahan dekade 2000-2010. Ada pria muda yang mengenakan kaus bergambar tokoh Bima dari epos Mahabarata, yang ditafsir kembali oleh desainer menjadi kekini-kinian. Ada anak muda kira-kira masih SMA mengenakan kaus coklat bergambarkan Garuda Pancasila. Ada pula nona yang mengenakan kaus dengan desain seorang perempuan yang bekerja jadi tukang jamu dalam media kartun. Ada semangat untuk mencoba menghidupkan nasionalisme-kultur dari desainer-desainer kita.

Pertama, penulis menjelaskan dulu posisi penulis dalam memahami studi singkat informal dan hanya mengandalkan intuisi ini. Penulis termasuk dalam gelombang anak muda kelahiran 1992, tidak menggebu-gebu dalam mengikuti tren tapi juga tetap mau beridentitas dalam berbusana.Karenanya, penulis sering wara-wiri ke pusat perbelanjaan, mencari busana yang tepat dalam rangka mempersiapkan identitas di masa depan. Di masa pencarian tersebut, penulis pun cukup mengenal beberapa merek yang penulis akui cukup menjanjikan. Busana-busana anak muda tersebut salah satunya disediakan oleh Damn! I Love Indonesia (DILI) dan Kementrian Desain Republik Indonesia (KDRI). Saat itu, pilihan penulis jatuh pada KDRI karena harganya yang relatif murah untuk penulis pesan secara online, namun dengan intensitas berbelanja yang cukup frekuen penulis pun ingin dan yakin membahas tentang DILI. Terutama dibandingkan dengan KDRI, DILI ternyata mendapat lebih banyak sorotan media. Dari posisi ini, penulis mencoba menganalisis kegiatan DILI dan produk-produknya.

DILI didirikan oleh Daniel Mananta, atau lebih dikenal dengan VJ (video jockey) Daniel di MTV. DILI berfokus untuk mempromosikan kekayaan budaya Indonesia dengan kultur populer anak muda. Dengan memakai produk-produk DILI, anak-anak muda bisa mengenal budaya Indonesia lebih lanjut dan juga merasa tetap cool saat memakainya. Konsep yang bagus dinilai dari intensinya, namun semua kembali kepada praksis. DILI meluncurkan banyak produk-produk busana dengan ciri khasnya, sebuah slogan yang didesain bertuliskan Damn! I Love Indonesia itu sendiri. Misalnya, dalam sebuah kaus nantinya ada slogan tersebut yang didesain dengan ukuran besar dan diletakkan melintang di seluruh dada, sebagai muka tampilan. Desain lalu divariasikan dalam segi warna dasar kaus, border slogan, warna tulisan slogan dan sebagainya. Hasilnya? Sampai sekarang DILI masih berdiri dan perlahan menguat. Produk-produknya dikenakan oleh anggota music band yang konser di Indonesia. Penulis pun menyadari lebih banyak orang yang memakainya di jalanan.

Sebenarnya, penulis ragu tentang kekuatan desain ciri khas slogan DILI. Konsep ini bukan konsep baru yang brilian dan groundbreaking. Sudah banyak yang mengerti akan pentingnya budaya dan mencoba menerjemahkannya pada karya-karya seni. Tambah lagi, desain DILI yang kebanyakan hanya berupa slogan ini menurut hemat penulis kurang mampu menusuk tajam untuk menjelaskan pentingnya budaya tersebut. Jika sasaran utamanya adalah sebagai sarana pengenalan budaya yang paling awal-namun-tidak-mendalam, DILI sudah berhasil. Slogan seperti itu sudah pasti bisa menjelaskan. Baru-baru ini saja penulis cek kembali desain produk DILI mulai beragam, membebaskan diri berkreasi namun masih tetap mempertahankan visual slogan khasnya. Penulis pun sampai pada pemikiran bahwa ada faktor di mana keberadaan Daniel sebagai pendirinya mendukung kuatnya performa DILI meski pada awal-awal kekuatan desain kurang menonjol. Pemikiran ini tidak bermaksudkan kultus personalitas yang disebabkan kiprah Daniel sebagai VJ dan MC, namun lebih ditekankan pada kekuatan Daniel sendiri dalam memasarkan produk DILI. Daniel adalah lulusan dua jurusan sekaligus di Edith Cowan University, Perth, mengambil Bachelor of Business Administration majoring in Finance dan International Business. Ia lalu bergabung dalam bisnis multi level marketing dan banyak melakukan presentasi yang meningkatkan kemampuan public speaking-nya. Ia juga sempat magang di Citibank selama 3 minggu. Pengalaman melakukan bisnis tidak asing bagi Daniel. Kiprahnya di dunia hiburan seperti semacam bonus, memperluas awareness bagi konsumen.

Oleh karena itu, ciri khas slogan yang ditekankan ini bisa berjalan di tangan Daniel. Seandainya dijalankan oleh bukan Daniel atau tidak memiliki pengalaman setara Daniel, sulit untuk mencapai tahap kesuksesan seperti ini. David Beckham, vokalis band Maroon 5, Jay Park, ketika datang ke Indonesia lewat acara tertentu mengenakan kaus DILI dengan slogan khas tersebut. Di satu sisi, bisa dibayangkan bahwa kekuatan slogan ini sebenarnya mampu merebut pangsa lebih banyak melalui turis mancanegara. Sebagai cinderamata, turis-turis internasional bisa mendapatkan kenang-kenangan berupa produk DILI. Produk-produk DILI yang relatif memberikan kesan harga relatif mahal/bergengsi, bisa menjadi pilihan turis dalam membawa pulang cinderamata. Hal ini bisa dikaitkan pada salah satu kompetitor DILI, KDRI yang harganya relatif murah dan hanya menjual kaus saja yang menyasarkan pangsa pada kelas menengah ke bawah. Ada alasan kenapa pangsa pasar yang dikaitkan pada kualitas produk dapat menjelaskan dinamika tertentu dalam perkembangan industri ini. Bagi KDRI, desain dan pesan filosofis yang kuat menjadi fokus, sementara DILI dengan lantang menyuarakan slogan bagi setiap orang bersama-sama merengkuh budaya secara bersahabat dan ringan namun tetap bergengsi.

Harga yang ditawarkan bervariasi dari di bawah Rp100.000,00 dan lebih dari Rp300.000,00. Menurut penulis, sebagai anggota strata masyarakat ekonomi menengah, harga tersebut masihlah terasa mahal. Tidak berarti setiap anggota masyarakat ekonomi mengenah Indonesia akan merasa mahal dan tidak jadi membeli. Jika dibandingkan dengan kompetitor terdekatnya KDRI yang masih dalam platform kaus saja, DILI mempunyai variasi produk lebih banyak (jaket, kaus, blus, celana panjang, aksesoris, dll) ditambah dengan variasi warna dasar dan slogan. Mengenai kualitas bahan, penulis masih berasumsi saja. Dengan kaus KDRI yang penulis miliki berkualitaskan cukup tahan, tentu produk DILI yang lebih mahal penulis asumsikan memiliki bahan yang lebih tahan lagi daripada KDRI. Jika membahas pertanyaan setarakah manfaat dengan harga tersebut, penulis cukup yakin setara meski belum ada risetnya. Produk yang didesain khusus dan diberi perhatian lebih padanya memiliki daya tarik tertentu bagi pemiliknya. Produk tersebut menawarkan keluwesan dan variasi kualitas hidup, meski dampaknya kecil bagi orang lain. Terkadang menjadi tanda identitas, terkadang menjadi tanda dukungan terhadap sebab tertentu. Penulis mampu berkomentar seperti ini karena dari sekian banyak kaus yang penulis miliki, penulis akhirnya menyadari sering memakai kaus yang didesain khusus atau dioperasikan seperti KDRI atau DILI dibandingkan yang tidak.

Penulis juga menyadari setelah membuka situs online DILI, situs tersebut sudah disusun sedemikian rupa sehingga menarik untuk bernavigasi menjelajah produk. Ada kelengkapan detil-detil informasi produk yang sangat sering dilupakan pebisnis lain dalam berdagang. Situs tersebut juga mudah dipandang mata, dengan basis putih sebagai dasar latar situs yang tidak membuat mata cepat lelah. Ada banyak kolom-kolom berita, baik berita mengenai keadaan budaya dan kultur pop maupun mengenai koleksi baru DILI sendiri. Dengan tampilan yang menarik ini, sangatlah mudah jika ingin menelusuri produk dan detil-detil informasi seperti ukuran, warna, jenis, kuantitas, alamat dan sebagainya. Tidak lama, situs ini menjadi komunitas. Dalam beberapa riset pemasaran, diketahui pula bahwa dibentuknya komunitas merek meningkatkan nilai merek itu sendiri. Langkah yang dilakukan DILI menurut penulis lebih termodel-bisniskan daripada kompetitornya. Penulis belum melihat langkah yang 'miring' dari DILI. Sejauh ini, DILI dapat mempertanggungjawabkan visi misi serta praksisnya sendiri.

Harapan penulis untuk DILI di masa depan sebagai konsumen, kiranya untuk tetap memajukan kesadaran akan budaya Indonesia namun tidak berhenti di situ. Penulis berharap DILI mampu melakukan sebuah terobosan dalam desain maupun pemasaran di mana pengenalan atas budaya kita membawa setiap konsumen DILI untuk lebih berbudaya, mempraktikkan dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi lokal. Bagi konsumen, kiranya tepat bahwa upaya untuk menghidupkan kembali sinar kejayaan Indonesia adalah bukan dengan hanya memakai busana bertemakan nasionalisme tapi dengan mengupayakannya. DILI dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk mendorong dan menstimulasi upaya-upaya tersebut lewat produknya.